KOTA PADANG
Menurut tambo pada masyarakat, kawasan kota ini dahulunya merupakan salah satu kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan daerah pesisir pantai barat Sumatera berada di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bahagian dari kedaulatan kesultanan Aceh. Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris di tahun 1649, kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak. Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pantai barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau, selanjutnya di tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, hal ini diketahui dari surat regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung, yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini. Walaupun pada tanggal 7 Agustus 1669, terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC, namun dapat diredam oleh VOC. Peristiwa ini dikemudian hari diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.
Peranan kota Padang sebagai kawasan pelabuhan dalam mendistribusikan hasil bumi dari pedalaman Minangkabau terus meningkat, dengan membuat beberapa kontrak dagang dengan penguasa Minangkabau, Belanda mendapatkan keuntungan yang banyak dalam monopoli perdagangan tersebut, tercatat sejak tahun 1770 diberangkatkan dari pelabuhan Muara sebanyak 0.3 milyar pikul lada dan 0.2 milyar gulden emas per tahunnya. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai walikota pertama kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia, Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda, yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara .
Peranan kota Padang sebagai kawasan pelabuhan dalam mendistribusikan hasil bumi dari pedalaman Minangkabau terus meningkat, dengan membuat beberapa kontrak dagang dengan penguasa Minangkabau, Belanda mendapatkan keuntungan yang banyak dalam monopoli perdagangan tersebut, tercatat sejak tahun 1770 diberangkatkan dari pelabuhan Muara sebanyak 0.3 milyar pikul lada dan 0.2 milyar gulden emas per tahunnya. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai walikota pertama kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia, Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda, yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara .
KOTA BUKITTINGGI
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini, dikenal sebagai Benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, di mana pada kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947, sekaligus menjadi ibukota Provinsi Sumatera waktu itu, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006.
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan.
Geografi Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara di pantai barat pulau
Perkembangan penduduk kota Bukittinggi tidak lepas dari berubahnya Bukittingi menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau, dimulai dengan dibangunya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1890 dengan nama loods, masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi, mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock sebelah barat, membujur dari selatan ke utara, saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, di mana pada kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947, sekaligus menjadi ibukota Provinsi Sumatera waktu itu, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006.
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan.
Geografi Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara di pantai barat pulau
Perkembangan penduduk kota Bukittinggi tidak lepas dari berubahnya Bukittingi menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau, dimulai dengan dibangunya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1890 dengan nama loods, masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi, mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock sebelah barat, membujur dari selatan ke utara, saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.
KOTA SOLOK
SOLOK - Menurut sejarah, semenjak orang tua-tua terdahulu, nama daerah Solok berawal dari sebutan nama Nagari Solok, persisnya Kota Solok sekarang.
Namun sebutan nama Solok justru akhirnya menjadi lazim ketika menyebutkan daerah asalnya tatkala tengah berada di luar daerah dan di perantauan, meskipun orang tersebut sesungguhnya berasal dari Nagari Selayo, Koto Baru, Cupak, Talang, Singkarak, Koto Anau, Gauang, Panyakalan, Muara Panas, Kinari, Kayu Aro, Guguk, dan lain sebagainya.
Konon sebutan Solok bermakna saelok alias baik. Dari penuturan sejumlah tokoh adat, daerah Solok bermula juga dari sejarah Kubuang Tigobaleh, persisnya semasa Sumatra Barat ini masih sitem kerajaan Minangkabau.Konon Kubuang Tigobaleh berarti kubuang tiga belas datuk dari lingkungan kerajaan Minangkabau, terkait sesuatu persoalan, sehingga dianggap pembangkang. Artinya dulu raja Minangkabau yang sedang berkuasa marah besar,sehingga memutuskan mengusir tiga belas datuk dari lingkungan kerajaan.
Para niniak rang Kubuang Tigobaleh tersebut pun pergi mencari daerah baru. Awalnya dari Pariangan Padang Panjang berjalan ke arah Danau Singkarak, dan ketika sampai di daerah Aripan sekarang, mereka menoleh ke suatu hamparan yang terlihat datar di bawah, sehingga pada saat itu terucaplah kata disitulah tampak nan raso kaelok yang kemudian berubah menjadi Solok. Dalam perjalanannya, para rombongan itu juga sempat menuju tempat ketinggian guna meninjau keadaan alam untuk ditempatinya, yaitu Bukit Gurunan (dekat Payo), dan ada sejumlah sumber mengatakan bahwa tempat itu adalah Aur Berangin (daerah Gaung). Akan tetapi alasan yang lebih dapat diterima logika bahwa tempat ketinggian tersebut diprediksikan Padang si ribu-ribu (dekat Kuncir) atau bukit antara Teluk dengan Tanjung Paku.
Dari tempat ketinggian inilah nenek moyang orang Solok melihat suatu dataran yang cukup baik yang mereka sebut dengan saelok-eloknyo yang dalam perkembangannya kata saelok-eloknyo berubah menjadi Solok. Karena informasi mengenai sejarah terjadinya nama daerah/nagari kebanyakan berasal dari cerita lisan, sangat sedikit sekali secara tertulis atau berupa catatan. Sehingga sejarah awal mula nama suatu daerah memiliki banyak versi. Generasi sekarang menerima kebenaran sejarah adalah dari tambo, dan cerita-cerita dari orang tua-tua terdahulu yang dianggap tokoh adat, sangat sedikit dikuatkan dengan peninggalan bukti sejarah. Berbeda dengan sejarah di daerah lain, yang diperkuat dengan peninggalan prasasti, monumen, candi-candi, sebagaimana kerajaan Sparta, Athena, Mesir dan lain sebagainya. Namun dilain sisi, banyak juga pihak yang menyatakan kata Solok juga berasal dari kata selo. Hal ini disebabkan karena adanya Batang Sumani yang berbelok-belok (selo) dan kemudian kata tersebut juga berubah menjadi Solok. Versi lain menyebutkan, konon nenek moyang orang Solok dahulunya mempunyai kemampuan lebih dalam setiap menyelesaikan berbagai masalah, dan memiliki wawasan, pola pikir yang luas jauh ke depan sehingga dengan kemampuan tersebut, membuat Pimpinan Luhak Tanah Datar dahulunya sering memberikan tugas kepada mereka untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Luhak Tanah Datar. Dengan janji apabila tugas tersebut berhasil diselesaikan, kepada mereka dijanjikan imbalan sesuai permintaan mereka. Berkat sukses dalam menyelesaikan masalah, diberikan pada mereka suatu wilayah di luar Luhak Tanah Datar, yaitu Daerah Kubuang Tigo Baleh sekarang yang pada waktu itu belum lagi disebut Kubuang Tigo Baleh.
Pada zaman penjajahan, Onder Distrik Solok dikepalai oleh Demang. Di era Distrik, Solok dikepalai oleh Controleur, sewaktu Afdeling Solok, termasuk di dalamnya Afdeling Sawahlunto dikepalai oleh Resisten Rest Indent. Pada zaman kemerdekaan, Solok disempurnakan menjadi daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Solok sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Sumatra Tengah. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah). Namun selanjutnya disempurnakan lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang bupati sebagai kepala daerah.
Semenjak diresmikannya Kotamadya Solok pada tanggal 16 Desember 1971, maka Nagari Solok yang semula merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Solok telah berdiri sendiri menjadi daerah tingkat II, dengan mempunyai kedudukan yang sama dengan Kabupaten Solok. Meskipun Solok telah berdiri sendiri dengan nama Kota Solok, namun Ibukota Kabupaten Solok sampai lahirnya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2004 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Solok Dari Wilayah Kota Solok ke Kayu Aro-Sukarami (Arosuka) di Wilayah Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok masih tetap berada di Solok.
Namun sebutan nama Solok justru akhirnya menjadi lazim ketika menyebutkan daerah asalnya tatkala tengah berada di luar daerah dan di perantauan, meskipun orang tersebut sesungguhnya berasal dari Nagari Selayo, Koto Baru, Cupak, Talang, Singkarak, Koto Anau, Gauang, Panyakalan, Muara Panas, Kinari, Kayu Aro, Guguk, dan lain sebagainya.
Konon sebutan Solok bermakna saelok alias baik. Dari penuturan sejumlah tokoh adat, daerah Solok bermula juga dari sejarah Kubuang Tigobaleh, persisnya semasa Sumatra Barat ini masih sitem kerajaan Minangkabau.Konon Kubuang Tigobaleh berarti kubuang tiga belas datuk dari lingkungan kerajaan Minangkabau, terkait sesuatu persoalan, sehingga dianggap pembangkang. Artinya dulu raja Minangkabau yang sedang berkuasa marah besar,sehingga memutuskan mengusir tiga belas datuk dari lingkungan kerajaan.
Para niniak rang Kubuang Tigobaleh tersebut pun pergi mencari daerah baru. Awalnya dari Pariangan Padang Panjang berjalan ke arah Danau Singkarak, dan ketika sampai di daerah Aripan sekarang, mereka menoleh ke suatu hamparan yang terlihat datar di bawah, sehingga pada saat itu terucaplah kata disitulah tampak nan raso kaelok yang kemudian berubah menjadi Solok. Dalam perjalanannya, para rombongan itu juga sempat menuju tempat ketinggian guna meninjau keadaan alam untuk ditempatinya, yaitu Bukit Gurunan (dekat Payo), dan ada sejumlah sumber mengatakan bahwa tempat itu adalah Aur Berangin (daerah Gaung). Akan tetapi alasan yang lebih dapat diterima logika bahwa tempat ketinggian tersebut diprediksikan Padang si ribu-ribu (dekat Kuncir) atau bukit antara Teluk dengan Tanjung Paku.
Dari tempat ketinggian inilah nenek moyang orang Solok melihat suatu dataran yang cukup baik yang mereka sebut dengan saelok-eloknyo yang dalam perkembangannya kata saelok-eloknyo berubah menjadi Solok. Karena informasi mengenai sejarah terjadinya nama daerah/nagari kebanyakan berasal dari cerita lisan, sangat sedikit sekali secara tertulis atau berupa catatan. Sehingga sejarah awal mula nama suatu daerah memiliki banyak versi. Generasi sekarang menerima kebenaran sejarah adalah dari tambo, dan cerita-cerita dari orang tua-tua terdahulu yang dianggap tokoh adat, sangat sedikit dikuatkan dengan peninggalan bukti sejarah. Berbeda dengan sejarah di daerah lain, yang diperkuat dengan peninggalan prasasti, monumen, candi-candi, sebagaimana kerajaan Sparta, Athena, Mesir dan lain sebagainya. Namun dilain sisi, banyak juga pihak yang menyatakan kata Solok juga berasal dari kata selo. Hal ini disebabkan karena adanya Batang Sumani yang berbelok-belok (selo) dan kemudian kata tersebut juga berubah menjadi Solok. Versi lain menyebutkan, konon nenek moyang orang Solok dahulunya mempunyai kemampuan lebih dalam setiap menyelesaikan berbagai masalah, dan memiliki wawasan, pola pikir yang luas jauh ke depan sehingga dengan kemampuan tersebut, membuat Pimpinan Luhak Tanah Datar dahulunya sering memberikan tugas kepada mereka untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Luhak Tanah Datar. Dengan janji apabila tugas tersebut berhasil diselesaikan, kepada mereka dijanjikan imbalan sesuai permintaan mereka. Berkat sukses dalam menyelesaikan masalah, diberikan pada mereka suatu wilayah di luar Luhak Tanah Datar, yaitu Daerah Kubuang Tigo Baleh sekarang yang pada waktu itu belum lagi disebut Kubuang Tigo Baleh.
Pada zaman penjajahan, Onder Distrik Solok dikepalai oleh Demang. Di era Distrik, Solok dikepalai oleh Controleur, sewaktu Afdeling Solok, termasuk di dalamnya Afdeling Sawahlunto dikepalai oleh Resisten Rest Indent. Pada zaman kemerdekaan, Solok disempurnakan menjadi daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Solok sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Sumatra Tengah. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah). Namun selanjutnya disempurnakan lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang bupati sebagai kepala daerah.
Semenjak diresmikannya Kotamadya Solok pada tanggal 16 Desember 1971, maka Nagari Solok yang semula merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Solok telah berdiri sendiri menjadi daerah tingkat II, dengan mempunyai kedudukan yang sama dengan Kabupaten Solok. Meskipun Solok telah berdiri sendiri dengan nama Kota Solok, namun Ibukota Kabupaten Solok sampai lahirnya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2004 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Solok Dari Wilayah Kota Solok ke Kayu Aro-Sukarami (Arosuka) di Wilayah Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok masih tetap berada di Solok.
KABUPATEN SOLOK
Kabupaten Solok, sebuah wilayah pemerintahan di Propinsi Sumatera Barat yang terletak pada posisi antara 01º 20’27”-01º 21’39” Lintang Selatan dan 100º 25’00’-100º 33’43’ Bujur Timur. Secara legal formal, Kabupaten Solok dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah. Pada saat itu, Kabupaten Solok terdiri dari 12 wilayah kecamatan, 247 desa dan 6 kelurahan.
Pada tahun 1970, ibukota Kabupaten Solok berkembang dan ditetapkan menjadi sebuah kotamadya dengan nama Kotamadya Solok. Berubah statusnya Ibukota Kabupaten Solok menjadi sebuah wilayah pemerintahan baru tidak diiringi sekaligus dengan pemindahan ibukota ke lokasi baru. Pada tahun 1979 Kabupaten Solok baru melakukan pemindahan pusat pelayanan pemerintahan dari Kota Solok ke Koto Baru Kecamatan Kubung namun secara yuridis Ibukota Kabupaten Solok masih tetap Solok.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan yang nyata dan luas serta tanggung jawab penuh untuk mengatur daerahnya masing-masing. Kabupaten Solok yang saat itu memiliki luas 7.084,2 Km² memiliki kesempatan untuk melakukan penataan terhadap wilayah administrasi pemerintahannya. Penataan pertama dilakukan pada tahun 1999 dengan menjadikan wilayah kecamatan yang pada tahun 1980 ditetapkan sebanyak 13 kecamatan induk ditingkatkan menjadi 14 sementara jumlah desa dan kelurahan masih tetap sama.
Penataan wilayah administrasi pemerintahan berikutnya terjadi pada tahun 2001 sejalan dengan semangat “babaliak banagari” di Kabupaten Solok. Pada penataan wilayah administrasi kali ini terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana wilayah pemerintahan yang mulanya terdiri dari 14 kecamatan, 11 Kantor Perwakilan Kecamatan, 247 desa dan 6 kelurahan di tata ulang menjadi 19 kecamatan, 86 Nagari, dan 520 jorong. Wilayah administrasi terakhir ini ditetapkan dengan Perda nomor 4 tahun 2001 tentang pemerintahan Nagari dan Perda nomor 5 tahun 2001 tentang Pemetaan dan Pembentukan Kecamatan.
Pada akhir tahun 2003, Kabupaten Solok kembali dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan. Pemekaran ini di lakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 2003 dan menjadikan luas wilayah Kabupaten Solok berkurang menjadi 3.738 Km². Pemekaran inipun berdampak terhadap pengurangan jumlah wilayah administrasi Kabupaten Solok menjadi 14 Kecamatan, 74 Nagari dan 403 Jorong.
Jika dirunut dari undang-undang pembentukan maka Kabupaten Solok hingga saat ini baru berusia 54 tahun, namun Kabupaten Solok bukanlah daerah baru karena Solok telah ada jauh sebelum undang-undang ini dikeluarkan. Pada masa penjajahan Belanda dulu, tepatnya pada tanggal 9 April 1913 nama Solok telah digunakan sebagai nama sebuah unit administrasi setingkat kabupaten yaitu Afdeeling Solok sebagaimana disebut di dalam Besluit Gubernur Jenderal Belanda yang kemudian dimuat di dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie. Sejak ditetapkannya nama Solok setingkat kabupaten pada tahun 1913 hingga saat ini Solok tetap digunakan sebagai nama wilayah administrative pemerintahan setingkat kabupaten/kota.
Dengan berbagai pertimbangan dan telaahan yang mendalam atas berbagai momentum lain yang sangat bersejarah bagi Solok secara umum, pemerintah daerah dan masyarakat menyepakati peristiwa pencantuman nama Solok pada tanggal 9 April 1913 sebagai sebuah nama unit administrasi setingkat kabupaten di zaman belanda sebagai momentum pijakan yang akan diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Solok. Kesepakatan inipun dikukuhkan dengan Perda Nomor 2 tahun 2009 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Solok..
Tanggal 9 April 2010, merupakan kali pertama Kabupaten Solok memperingati hari jadinya yang ke 97.
Pada tahun 1970, ibukota Kabupaten Solok berkembang dan ditetapkan menjadi sebuah kotamadya dengan nama Kotamadya Solok. Berubah statusnya Ibukota Kabupaten Solok menjadi sebuah wilayah pemerintahan baru tidak diiringi sekaligus dengan pemindahan ibukota ke lokasi baru. Pada tahun 1979 Kabupaten Solok baru melakukan pemindahan pusat pelayanan pemerintahan dari Kota Solok ke Koto Baru Kecamatan Kubung namun secara yuridis Ibukota Kabupaten Solok masih tetap Solok.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan yang nyata dan luas serta tanggung jawab penuh untuk mengatur daerahnya masing-masing. Kabupaten Solok yang saat itu memiliki luas 7.084,2 Km² memiliki kesempatan untuk melakukan penataan terhadap wilayah administrasi pemerintahannya. Penataan pertama dilakukan pada tahun 1999 dengan menjadikan wilayah kecamatan yang pada tahun 1980 ditetapkan sebanyak 13 kecamatan induk ditingkatkan menjadi 14 sementara jumlah desa dan kelurahan masih tetap sama.
Penataan wilayah administrasi pemerintahan berikutnya terjadi pada tahun 2001 sejalan dengan semangat “babaliak banagari” di Kabupaten Solok. Pada penataan wilayah administrasi kali ini terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana wilayah pemerintahan yang mulanya terdiri dari 14 kecamatan, 11 Kantor Perwakilan Kecamatan, 247 desa dan 6 kelurahan di tata ulang menjadi 19 kecamatan, 86 Nagari, dan 520 jorong. Wilayah administrasi terakhir ini ditetapkan dengan Perda nomor 4 tahun 2001 tentang pemerintahan Nagari dan Perda nomor 5 tahun 2001 tentang Pemetaan dan Pembentukan Kecamatan.
Pada akhir tahun 2003, Kabupaten Solok kembali dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan. Pemekaran ini di lakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 2003 dan menjadikan luas wilayah Kabupaten Solok berkurang menjadi 3.738 Km². Pemekaran inipun berdampak terhadap pengurangan jumlah wilayah administrasi Kabupaten Solok menjadi 14 Kecamatan, 74 Nagari dan 403 Jorong.
Jika dirunut dari undang-undang pembentukan maka Kabupaten Solok hingga saat ini baru berusia 54 tahun, namun Kabupaten Solok bukanlah daerah baru karena Solok telah ada jauh sebelum undang-undang ini dikeluarkan. Pada masa penjajahan Belanda dulu, tepatnya pada tanggal 9 April 1913 nama Solok telah digunakan sebagai nama sebuah unit administrasi setingkat kabupaten yaitu Afdeeling Solok sebagaimana disebut di dalam Besluit Gubernur Jenderal Belanda yang kemudian dimuat di dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie. Sejak ditetapkannya nama Solok setingkat kabupaten pada tahun 1913 hingga saat ini Solok tetap digunakan sebagai nama wilayah administrative pemerintahan setingkat kabupaten/kota.
Dengan berbagai pertimbangan dan telaahan yang mendalam atas berbagai momentum lain yang sangat bersejarah bagi Solok secara umum, pemerintah daerah dan masyarakat menyepakati peristiwa pencantuman nama Solok pada tanggal 9 April 1913 sebagai sebuah nama unit administrasi setingkat kabupaten di zaman belanda sebagai momentum pijakan yang akan diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Solok. Kesepakatan inipun dikukuhkan dengan Perda Nomor 2 tahun 2009 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Solok..
Tanggal 9 April 2010, merupakan kali pertama Kabupaten Solok memperingati hari jadinya yang ke 97.
KABUPATEN SOLOK SELATAN
Terbentuk Kabupaten Solok Selatan merupakan buah dari perjuangan panjang yang dimulai sejak 1950-an yang ditandai dengan diadakan Konferensi Timbulun.
Pada Konferensi Timbulun saat itu akan dibetuk sebuah kabupaten dengan nama Kab. Sehilir Batang Hari (SBH) yang memasukan wilayah Kecamatan Lembah Gumanti (Alahan Panjang), Pantai Cermin (Surian), Sungai Pagu (Muaro Labuh) dan Kec. Sangir (Lubuk Gadang).
Perjuangan panjang itu, baru tercapai setelah disahkannya Undang-Undang No 38 tahun 2003 dan pada 7 Januari 2004 diresmikan 24 kabupaten baru di Indonesia tiga di antaranya terdapat di Sumbar, yakni, Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya dan Pasaman Barat.
Tiga hari setelah diresmikan atau pada 10 Januari 2004, Gubernur Sumbar, melantik Pj Bupati Solok Selatan, Drs. Aliman Salim.
Dalam perjalanan satu tahun Kab. Solok Selatan, Gubernur Sumbar, H. Zainal Bakar. kembali melantik Marzuki Onmar sebagai Pj. Bupati Solok Selatan menggantikan Aliman Salim yang sudah habis masa jabatannya.
Melalui dua Pj, Bupati daerah pemekaran terus menata dan menjalan roda pemerintah sehingga terpilihnya Bupati dan wakil Bupati melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Proses demokrasi perdana itu, terpilih pasangan Drs. Syafrizal M.Si dan Drs. Nurfirmanwansyah, pada 20 Agustus 2005 maka dilantik oleh Gubernur Sumbar, di Padang Aro yang kini menjadi ibukabupaten Solok Selatan.
Tempat-tempat Wisata di Kabupaten Solok Selatan:
Air Malanca, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Sungai Lambai, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sagir, 8 Km dari Kota Padang Aro, berupa mengalir di atas batu karang berbentuk cekung.
Air Panas Mudiak Sapan, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Balun, Nagari Pakan Rabaa, Kecamatan Koto Parik Gadang Di Ateh, suhunya mencapai 95°C, biasa digunakan untuk merebus telur dan makanan lainnya, serta menjemur padi.
Air Panas Sapan Maluluang, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Ampalu, Nagari Alam Pauh Duo, Kecamatan Sungai Pagu, yang merupakan sumber air panas terbesar di wilayah Solok Selatan, dengan suhu sekitar 65°C.
Air Panas Sapan Sungai Aro, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Sungai Aro, Nagari Pakan Rabaa, Kecamatan Koto Parik Gadang Di Ateh, dengan suhu sekitar 75°C.
Air Terjun Batang Daun, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Taratak Baru, Nagari Sungai Kunyit, Kecamatan Sangir Jujuan, berketinggian 15 Km.
Air Terjun Talang Sepintir, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Nagari Sungai Kunyit, Kecamatan Sangir Jujuan, 27 km dari Kota Padang Aro, di areal perkebunan sawit, berketinggian 20 m ini, terdapat tempat berkemah.
Air Terjun Tangsi Mitra Kerinci, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Sungai Lambai, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir, 8 Km dari Kota Padang Aro, air terjun bertingkat dua dengan ketinggian 20 m.
Air Terjun Timbulun, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Nagari Lubuk Gadang, 2 km dari Kota Padang Aro, dengan ketinggian air terjun 15 m, di Sungai Batang Liki, di sebelah kanan jalan Raya Muara Labuh – Padang Aro.
Air Terjun Timbulun Koto Birah, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Koto Birah, Nagari Koto Baru , Kecamatan Sungai Pagu, 30 km dari Padang Aro, berketinggian 20 m, terdiri dari 7 tingkat.
Air Terjun Ulu Suliti, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Ulu Suliti, Nagari Pakan Rabaa, Kec Koto Parik Gadang Diateh, 55 Km dari Kota Padang Aro, berketinggian 40 m, tertinggi di wilayah Solok Selatan, ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 5 Km.
Pada Konferensi Timbulun saat itu akan dibetuk sebuah kabupaten dengan nama Kab. Sehilir Batang Hari (SBH) yang memasukan wilayah Kecamatan Lembah Gumanti (Alahan Panjang), Pantai Cermin (Surian), Sungai Pagu (Muaro Labuh) dan Kec. Sangir (Lubuk Gadang).
Perjuangan panjang itu, baru tercapai setelah disahkannya Undang-Undang No 38 tahun 2003 dan pada 7 Januari 2004 diresmikan 24 kabupaten baru di Indonesia tiga di antaranya terdapat di Sumbar, yakni, Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya dan Pasaman Barat.
Tiga hari setelah diresmikan atau pada 10 Januari 2004, Gubernur Sumbar, melantik Pj Bupati Solok Selatan, Drs. Aliman Salim.
Dalam perjalanan satu tahun Kab. Solok Selatan, Gubernur Sumbar, H. Zainal Bakar. kembali melantik Marzuki Onmar sebagai Pj. Bupati Solok Selatan menggantikan Aliman Salim yang sudah habis masa jabatannya.
Melalui dua Pj, Bupati daerah pemekaran terus menata dan menjalan roda pemerintah sehingga terpilihnya Bupati dan wakil Bupati melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Proses demokrasi perdana itu, terpilih pasangan Drs. Syafrizal M.Si dan Drs. Nurfirmanwansyah, pada 20 Agustus 2005 maka dilantik oleh Gubernur Sumbar, di Padang Aro yang kini menjadi ibukabupaten Solok Selatan.
Tempat-tempat Wisata di Kabupaten Solok Selatan:
Air Malanca, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Sungai Lambai, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sagir, 8 Km dari Kota Padang Aro, berupa mengalir di atas batu karang berbentuk cekung.
Air Panas Mudiak Sapan, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Balun, Nagari Pakan Rabaa, Kecamatan Koto Parik Gadang Di Ateh, suhunya mencapai 95°C, biasa digunakan untuk merebus telur dan makanan lainnya, serta menjemur padi.
Air Panas Sapan Maluluang, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Ampalu, Nagari Alam Pauh Duo, Kecamatan Sungai Pagu, yang merupakan sumber air panas terbesar di wilayah Solok Selatan, dengan suhu sekitar 65°C.
Air Panas Sapan Sungai Aro, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Sungai Aro, Nagari Pakan Rabaa, Kecamatan Koto Parik Gadang Di Ateh, dengan suhu sekitar 75°C.
Air Terjun Batang Daun, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Taratak Baru, Nagari Sungai Kunyit, Kecamatan Sangir Jujuan, berketinggian 15 Km.
Air Terjun Talang Sepintir, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Nagari Sungai Kunyit, Kecamatan Sangir Jujuan, 27 km dari Kota Padang Aro, di areal perkebunan sawit, berketinggian 20 m ini, terdapat tempat berkemah.
Air Terjun Tangsi Mitra Kerinci, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Sungai Lambai, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir, 8 Km dari Kota Padang Aro, air terjun bertingkat dua dengan ketinggian 20 m.
Air Terjun Timbulun, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Nagari Lubuk Gadang, 2 km dari Kota Padang Aro, dengan ketinggian air terjun 15 m, di Sungai Batang Liki, di sebelah kanan jalan Raya Muara Labuh – Padang Aro.
Air Terjun Timbulun Koto Birah, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Koto Birah, Nagari Koto Baru , Kecamatan Sungai Pagu, 30 km dari Padang Aro, berketinggian 20 m, terdiri dari 7 tingkat.
Air Terjun Ulu Suliti, Solok Selatan
wisata solok selatanWisata Solok Selatan di Jorong Ulu Suliti, Nagari Pakan Rabaa, Kec Koto Parik Gadang Diateh, 55 Km dari Kota Padang Aro, berketinggian 40 m, tertinggi di wilayah Solok Selatan, ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 5 Km.
DESA SANIANGBAKA
Saniang Baka
A. Letak saniang baka
Saniang Baka adalah sebuah Nagari yang terletak di Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Nagari ini terletak di tepian danau Singkarak yang berbatasan dengan Nagari Sumani, Muaro Pingai, Koto Sani dan pada sebelah barat yang merupakan hutan belantara berbatasan dengan Kota Padang.
B. Asal - usul nagari saniang baka
Dalam peninggalan sejarah Minangkabau pada umumnya tidak dapat diketahui secara pasti tentang asal usul atau asal nama sesuatu secara pasti. Walau ada beberapa peninggalan prasasti di Minangkabau, namun tidak dapat menjawab sesuatu hal secara tepat. Misalnya tentang Raja Minangkabau yang bernama Adityawarman. Sejarah yang berkembang di Minangkabau adalah berdasarkan cerita turun temurun atau tradisi bakaba. Misalnya cerita Merapi yang awalnya berasal dari benda sebesar telur itik, nenek moyang orang minang yang berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnaen serta berbagai cerita lainnya. Pun demikian dengan asal nama nagari Saniang Baka. Konon menurut salah satu versi cerita Saniang Baka berasal dari kata saniang yang terbakar. Saniang adalah nama orang yang membuka nagari yang akan bernama Saniang Baka, kemudian dalam sebuah pekerjaan ia sedang membakar semak belukar yang telah ia bersihkan. Namun apa daya ia ikut terbakar, sehingga dari pada itu orang-orang menyebut si Saniang Terbakar, Si Saniang Terbakar dan seterusnya. Sehingga di kemudian hari lekatlah nama nagari itu dengan nama Saniang Baka.
Dalam versi lainnya diceritakan bahwa Saniang Baka berasal dari kata sandiang, sandiang adalah sudut. Tempat itu adalah satu sudut dari danau Singkarak. Di sudut itu orang dari jauh melihat api setali dengan asap yang membumbung tinggi. Orang-orang yang melihat kebakaran dari jauh itu berujar Sandiang terbakar, Sandiang terbakar dan seterusnya. Kemudian dari itulah kemudian lahir nama Saniang Baka.
A. Letak saniang baka
Saniang Baka adalah sebuah Nagari yang terletak di Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Nagari ini terletak di tepian danau Singkarak yang berbatasan dengan Nagari Sumani, Muaro Pingai, Koto Sani dan pada sebelah barat yang merupakan hutan belantara berbatasan dengan Kota Padang.
B. Asal - usul nagari saniang baka
Dalam peninggalan sejarah Minangkabau pada umumnya tidak dapat diketahui secara pasti tentang asal usul atau asal nama sesuatu secara pasti. Walau ada beberapa peninggalan prasasti di Minangkabau, namun tidak dapat menjawab sesuatu hal secara tepat. Misalnya tentang Raja Minangkabau yang bernama Adityawarman. Sejarah yang berkembang di Minangkabau adalah berdasarkan cerita turun temurun atau tradisi bakaba. Misalnya cerita Merapi yang awalnya berasal dari benda sebesar telur itik, nenek moyang orang minang yang berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnaen serta berbagai cerita lainnya. Pun demikian dengan asal nama nagari Saniang Baka. Konon menurut salah satu versi cerita Saniang Baka berasal dari kata saniang yang terbakar. Saniang adalah nama orang yang membuka nagari yang akan bernama Saniang Baka, kemudian dalam sebuah pekerjaan ia sedang membakar semak belukar yang telah ia bersihkan. Namun apa daya ia ikut terbakar, sehingga dari pada itu orang-orang menyebut si Saniang Terbakar, Si Saniang Terbakar dan seterusnya. Sehingga di kemudian hari lekatlah nama nagari itu dengan nama Saniang Baka.
Dalam versi lainnya diceritakan bahwa Saniang Baka berasal dari kata sandiang, sandiang adalah sudut. Tempat itu adalah satu sudut dari danau Singkarak. Di sudut itu orang dari jauh melihat api setali dengan asap yang membumbung tinggi. Orang-orang yang melihat kebakaran dari jauh itu berujar Sandiang terbakar, Sandiang terbakar dan seterusnya. Kemudian dari itulah kemudian lahir nama Saniang Baka.
SEJARAH SUMANI GEMPA
Ranah Minang Menangis
Tak habis dirundung bencana. Tahun 2007 sepertinya tahun terkelam bagi masyarakat Sumbar. Silih berganti bencana datang mengancam ranah minang ini, tak peduli waktu dan tempat. Belum tuntas penyelesaian bencana yang satu, sudah datang bencana lainnya.
Setidaknya, menurut catatan penulis empat kali bencana besar menimpa negeri ini. Dimulai dengan gempa berkekuatan 6,2 SR di Solok Selasa 6 Maret, kemudian gelombang pasang setinggi 4-5 meter Kamis 17 Mei, gempa 7,7 SR Selasa 12 September dan disusul pagi harinya Rabu 13 September gempa berkekuatan 7,9 SR.
Gempa 6 Maret berpusat di Batusangkar. Puluhan orang tewas dalam musibah pagi hari itu. Gempa tektonik ini dirasakan hampir disemua wilayah di Sumbar. Namun magnitude tertinggi terasa di 4 kabupaten/kota, yaitu Kota Solok, Kabupaten Solok, kabupaten Agam dan Tanah Datar. Meski demikian, getarannya juga menggoyang Kota Padang, Padang Pariaman dan beberapa kabupaten lainnya.
Hanya dua buan berselang, bencana bergerak ke laut. Kali ini giliran Kota Padang dan kabupaten/kota di pesisir pantai yang terkena bencana gelombang pasang. Laut dengan ketenangan gelombang dan indahnya pucuk-pucuk nyiur, tiba-tiba saja bergejolak dan beringas. Dia menghantarkan gelombang besar dan menghancurkan semua yang menghadangnya. Jalan, rumah, warung, halte dan bahkan warung-warung kelambu di bibir pantai Padang tersapu gelombang pasang.
Gelombang yang di daratan mencapai tinggi 4-5 meter ini, terjadi pada Kamis pagi 17 Mei. Saya ingat, kabar pertaam saya dengar dari salah seorang warga Lubuk Buaya Padang. Kata si pembawa kabar, terjadi banjir di kawasan pantai Kota Padang. Ada rasa tidak percaya saat itu, karean hujan tidak ada hujan, kenapa bisa bajir. Ternyata saya selama ini terbiasa dengan cara berfikir linear. Berfikir yang lurus-lurus saja. Banjir pasti terjadi akibat hujan. Padahal laut yang mengganas.
Gelombang pasang terjadi akibat daya tarik (Gravitasi) bumi-bulan-matahari memasuki fase maksimum saat bulan baru, yang jatuh pada 17 Mei 2007 pukul 2.59 wib dini hari itu. Fenomena terbesar dalam 10 tahun terakhir itu, melanda hampir semua pesisir barat Ranah Minang. Mulai dari ujung Selatan di Kabupaten Pesisir Selatan hingga ujung Utara di Agam.
Ribuan orang yang berdomisili disepanjang bibir pantai, untuk satu bulan kedepan, terpaksa harus hidup ditenda-tenda. Masih ada dalam ingatan saya, bagaiman ombak di pantai padang menghantam atap sebuah halte di ada bibir pantai. Satu demi satu lembaran atap halte setinggi 3,5 meter itu jatuh ke bawah. Saya juga ingat, bagaimana luberan air laut mencapai jalan raya hingga puluhan meter ke arah perumahan warga. Bencana laut terhebat yang pernah saya saksikan.
Tak heran jika wakil presiden RI, HM Jusuf Kalla, menyebut Sumbar sebagai supermarket bencana. Karena empat bulan setealh gelombang pasang, Sumbar kembali di hajar bencana besar. Keadaan yang mulai tenang dan rasa takut yang menghilang dari wajah rang Minang ini, kembali buyar, ketika pada 12 September gempa besar bergetar dihampir semua wailayah Sumbar. Sore itu merupakan hari terakhir bulan Sya’ban 1428 H. Dan besoknya seluruh umat Islam akan menjalankan ibadah puasa.
Gempa sore itu memang tidak berpusat di Sumbar, namun di provinsi tetangga, Bengkulu. Hampir semua kabupaten/kota di Sumbar terkena daya rusaknya. Tetapi yang terparah adalah kabupaten Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Sedang 16 kabupaten/kota lainnya, juga mengalami kerusakan tapi tidak seberapa.
Rakyat Sumbar benar-benar diuji kesabarannya. Dalam 12 jam kemudian, gempa kedua berkekuatan 7,9 SR berpusat di Pesisir Selatan, juga menguncang. Kerusakan yang ditimbulkannya makin besar. Kalau diibaratkan, gempa pertama hanya menimbulkan keretakan, maka gempa kedua ini memecah dan merontokan semuanya. Namun ajaibnya, meski daya rusak dan kekuatannya lebih besar dari gempa 6 Maret silam, dua kali gempa yang bersahutan ini tidak menimbulkan korban jiwa. Keculai General Manager PT Suka Fajar Ir Moyardi Kasim, yang tewas terhimpit reruntuhan kantornya.
Jurnalis adalah penulis sejarah, bahkan sebelum sejarah itu dilahirkan. Berikut ini catatan saya sebagai jurnalis, dan pernah dimuat secara utuh atau sebagian di harian Posmetro Padang. Catatan ini hanya bagian kecil dari dokumentasi soal bencana di Sumbar. Ada banyak goresan, catatan dan bahkan ingatan para korban yang belum terungakp. Kecuali yang dituliskan media. (nto)
Ranah Minang Menangis
Seri Pertama : Gempa 6 Maret 2007 (1)
Gempa dengan kekuatan 5,8 SR yang berpusat di Batusangkar Selasa (6/3), menimbulkan korban jiwa diberbagai kabupaten/kota di Sumatera Barat. Korban tewas terbanyak terjadi di kabupaten dan Kota Solok, yakni sebanyak 33 orang. Sampai pukul 18.00 wib, menurut data Satkorlak Penanggulan Bencana (PB) Sumatera Barat, 19 orang tewas di Kabupaten Solok dan 14 di Kota Solok.
Dilaporkan wartawan Posmetro dari Solok, korban tewas umumnya tertimpa dinding rumah dan atap bangunan. Seperti 7 orang tewas di Sumani Solok diakibatkan tertimpa bangunan SD 06 Sumani. Tiga orang lainnya tewas dihimpit dinding bangunan Bimbel Primagama Kota Solok. Jumlah korban tewas kemukinan terus bertambah, karena ada ratusan warga yang masih dirawat akibat luka berat dan ringan.
Selain korban tewas, gempa di pagi hari itu juga menimbulkan kerusakan bangunan dan fasilitas umum di berbagai kecamatan di Solok. Tercatat 4 kecamatan di kabupaten Solok mengalami kerusakan, yaitu Kecamatan Lembang Jaya, Kecamatan Gunung Talang, Kecamatan Kubung dan kecamatan X Koto. Selain itu dua kecamatan di Kota Solok, yaitu kecamatan Tanjung Harapan dan Kecamatan Lubuk Sikarak, juga mengalami hal yang sama.
Akibat gempa itu, sejak pukul 12.00 siang aktifitas warga di Kabupaten dan Kota Solok terhenti. Gempa juga memmbuat pemilik toko menutup tokonya lebih awal. Begitu hal dengan sekolah, pasca gempa siswa-siswa langsung di suruh pulang. Jalanan sejak pagi hari hingga sore, lengang. Warga memilih berada di rumah ,masing-masing. Meraka memasang tenda di halaman rumahnya guna mengantisipasi gempa susulan.
Gempa yang berpusat di sebelah Barat Daya Batusangkar itu, menyebabkan putusnya jaringan listrik dan saluran komunikasi. Bahkan dilaporkan, akibat kepanikan, terjadi beberapa kali kecelakaan. Tetapi tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.
Untuk memantau kondisi terkini, Pemkab Solok dan Kota Solok telah membangun Posko utama, di depan kantor camat Kubung untuk Kabupaten Solok dan di Lapangan Merdeka untuk Kota Solok.
Padang Panik
Gempa dengan kekuatan 5,8 skala ricter itu juga menimbulkan kepanikan warga. Berbagai ruas jalan di kota Padang dilanda kemacetan hebat. Hal ini terjadi karena banyaknya warga kota yang menyelamatkan diri, dari kemukinan terjadinya tsunami.
Di sepanjang jalan Sawahan misalnya, beberapa menit setelah gempa menghoyak. Ratusan kendaraan mulai dari roda empat sampai roda dua, merangkak menuju kawasan Limau Manis dan kawaan tinggi lainnya di kota Padang. Keadaan ini memacetkan ruas jalan tersebut, terutama dari pertigaan Jati sampai depan SPBU Sawahan.
Salah seorang mahasiswa Unand, Paljriati yang turut berlarian bersama masyarakat lainnya, mengatakan dirinya ikut lari, karena takut akan datang tsunami.
“Karena tetangga pada berlarian, saya pun ikut lari. Buat jaga-jaga aja,” ungkap Paljriati.
Ancaman akan datangnya tsunami, agaknya yang menyebabkan ribuan masyarakat Kota Padang berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Trauma Tsuanami Aceh, menjadi salah satu sebabnya. Silmi (25), alumni MIPA Unand, mengaku ketika gempa terjadi, dia sedang berada di salah satu studio photo di Kota Padang. Begitu gempa, dia langsung menuju Limau Manis.
“Bukan takut tsunami sih, tapi karena orang pada lari, ya saya ikut lari juga,”
Kemacetan juga terjadi di ruas Jalan Jati, terutama di depan rumah sakit M Jamil. Ratusan kendaraan tumpah ruah ke jalanan. Kondisi kondusif terjadi saat beberapa pemuda setempat dan Satpam RS M Djamil berinisiatif mengatur lalu lintas. Beberapa siswa sekolahan yang ikut berlarian menyelamatkan diri, tampak ada yang menangis ketakutan. Bahkan pingsan seperti yang terjadi di depan rumah sakit M Djamil Padang.
Keadaan serupa juga terjadi di beberapa ruas jalan protokol. Jalan Sudirman, Rasuna Said, Khatib Sulaiman serta jalan Pasar Alai-Ampang serta beberapa ruas jalan lainnya terlihat macet. Masyarakat yang panik, tampak berbondong menyelamatkan diri.
“Untung siang hari terjadinya, kalau tidak,” kata Muklis Tanjung (45) warga Ampang saat menyelamatkan diri bersama anggota keluarganya menuju Kampung Kelawi.
Kapoltabes Padang, Kombes Pol Drs Tri Agus Heru Prasetya, melalui Kasatlantas, Kompol Sareng Suprapto, di ruas Jalan Sudirman, sibuk turun langsung mengatur arus lalulintas. Dia mengatakan, kepolisian sudah menyiapkan 147 personil Satlantas Poltabes Padang untuk mengatur arus lalulintas.
Gempa bukan saja menyebabkan kemacetan, namun beberapa toko seusai gempa juga langsung ditutup pemiliknya. Salah seorang loper koran Mardi (34) warga Simpang Haru, menyatakan, akibat ditutupnya toko-toko di Pasar Raya Padang, dagangan korannya tidak laku. Biasanya dia bisa menghabiskan puluhan eksamplar setiap hari. Namun pada hari itu, korannya hanya terjual beberapa eksamplar saja.
Rumah Sakit Panik
Kepanikan juga terjadi di Rumah Sakit (RS) M DJamil dan RS BMC Restu Ibu Padang. Puluhan dokter, perawat, pasien beserta keluarganya saling berdesakan keluar dari rumah sakit tersebut.
Puluhan pasien yang sedang dirawat didua rumah sakit itu sengaja dipindahkan ke teras dan halaman rumah sakit. Keluarga pasien, dokter dan perawat saling bahu-membahu mendorong tempat tidur pasien ke lantai dasar, untuk menghindari runtuhnya gedung rumah sakit.
Salah seorang keluarga pasien RS BMC Restu Ibu Benhire (58), mengatakan, dia masih shock dengan kejadian itu. Pada saat gempa terjadi, dia berada di lantai 2 RS BMC Restu Ibu, menunggui suaminya yang dirawat disana. “Dengan dibantu anak saya, kami langsung mendorong bapak (suaminya) ke lantai bawah. Kami takut, gempa akan merubuhkan banguna ini. Sampai sekarang ini saya masih shock,” ungkap warga Tabing ini.
Pantauan POSMETRO di dua lokasi itu, kecemasan terlihat jelas di wajah pasien, keluarga, perawat serta para dokter. Sebagian masih terduduk lemas, memegangi dada. Sebagian lainnya mencoba menenangkan pasien yang tampak shok. Beberapa diantara mereka ada yang masih masih dinfus.
Di RS M Djamil misalnya, puluhan pasien sementara waktu ditempatkan di teras dan halaman rumah sakit. Pengevakuasian pasien bukan saja berlaku untuk pasien dewasa, bayi-bayi yang baru beberapa saat dilahirkan, juga tampak diantara pasien RS terbesar di Sumbar itu.
Kepanikan juga dialami kerabat yang membezuk. Akibat gempa, mereka berlarian keluar dari kawasan M Jamil. Akibatnya saling berdesakan di pintu gerbang RSUP M Djamil tidak bisa dielakan.
Untuk menenangkan suasana, manajemen RSUP M DJamil lewat pengeras suara, mengumumkan kalau gempa itu berkekuatan 5,8 SR dan berpusat di Batusangkar. Sehingga tidak menimbulkan bencana tsunami. Untuk menetralisir kepanikan, pihak rumah sakit menghimbau perawat, dokter, pasien beserta keluarganya untuk tetap tenang.
Tak habis dirundung bencana. Tahun 2007 sepertinya tahun terkelam bagi masyarakat Sumbar. Silih berganti bencana datang mengancam ranah minang ini, tak peduli waktu dan tempat. Belum tuntas penyelesaian bencana yang satu, sudah datang bencana lainnya.
Setidaknya, menurut catatan penulis empat kali bencana besar menimpa negeri ini. Dimulai dengan gempa berkekuatan 6,2 SR di Solok Selasa 6 Maret, kemudian gelombang pasang setinggi 4-5 meter Kamis 17 Mei, gempa 7,7 SR Selasa 12 September dan disusul pagi harinya Rabu 13 September gempa berkekuatan 7,9 SR.
Gempa 6 Maret berpusat di Batusangkar. Puluhan orang tewas dalam musibah pagi hari itu. Gempa tektonik ini dirasakan hampir disemua wilayah di Sumbar. Namun magnitude tertinggi terasa di 4 kabupaten/kota, yaitu Kota Solok, Kabupaten Solok, kabupaten Agam dan Tanah Datar. Meski demikian, getarannya juga menggoyang Kota Padang, Padang Pariaman dan beberapa kabupaten lainnya.
Hanya dua buan berselang, bencana bergerak ke laut. Kali ini giliran Kota Padang dan kabupaten/kota di pesisir pantai yang terkena bencana gelombang pasang. Laut dengan ketenangan gelombang dan indahnya pucuk-pucuk nyiur, tiba-tiba saja bergejolak dan beringas. Dia menghantarkan gelombang besar dan menghancurkan semua yang menghadangnya. Jalan, rumah, warung, halte dan bahkan warung-warung kelambu di bibir pantai Padang tersapu gelombang pasang.
Gelombang yang di daratan mencapai tinggi 4-5 meter ini, terjadi pada Kamis pagi 17 Mei. Saya ingat, kabar pertaam saya dengar dari salah seorang warga Lubuk Buaya Padang. Kata si pembawa kabar, terjadi banjir di kawasan pantai Kota Padang. Ada rasa tidak percaya saat itu, karean hujan tidak ada hujan, kenapa bisa bajir. Ternyata saya selama ini terbiasa dengan cara berfikir linear. Berfikir yang lurus-lurus saja. Banjir pasti terjadi akibat hujan. Padahal laut yang mengganas.
Gelombang pasang terjadi akibat daya tarik (Gravitasi) bumi-bulan-matahari memasuki fase maksimum saat bulan baru, yang jatuh pada 17 Mei 2007 pukul 2.59 wib dini hari itu. Fenomena terbesar dalam 10 tahun terakhir itu, melanda hampir semua pesisir barat Ranah Minang. Mulai dari ujung Selatan di Kabupaten Pesisir Selatan hingga ujung Utara di Agam.
Ribuan orang yang berdomisili disepanjang bibir pantai, untuk satu bulan kedepan, terpaksa harus hidup ditenda-tenda. Masih ada dalam ingatan saya, bagaiman ombak di pantai padang menghantam atap sebuah halte di ada bibir pantai. Satu demi satu lembaran atap halte setinggi 3,5 meter itu jatuh ke bawah. Saya juga ingat, bagaimana luberan air laut mencapai jalan raya hingga puluhan meter ke arah perumahan warga. Bencana laut terhebat yang pernah saya saksikan.
Tak heran jika wakil presiden RI, HM Jusuf Kalla, menyebut Sumbar sebagai supermarket bencana. Karena empat bulan setealh gelombang pasang, Sumbar kembali di hajar bencana besar. Keadaan yang mulai tenang dan rasa takut yang menghilang dari wajah rang Minang ini, kembali buyar, ketika pada 12 September gempa besar bergetar dihampir semua wailayah Sumbar. Sore itu merupakan hari terakhir bulan Sya’ban 1428 H. Dan besoknya seluruh umat Islam akan menjalankan ibadah puasa.
Gempa sore itu memang tidak berpusat di Sumbar, namun di provinsi tetangga, Bengkulu. Hampir semua kabupaten/kota di Sumbar terkena daya rusaknya. Tetapi yang terparah adalah kabupaten Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Sedang 16 kabupaten/kota lainnya, juga mengalami kerusakan tapi tidak seberapa.
Rakyat Sumbar benar-benar diuji kesabarannya. Dalam 12 jam kemudian, gempa kedua berkekuatan 7,9 SR berpusat di Pesisir Selatan, juga menguncang. Kerusakan yang ditimbulkannya makin besar. Kalau diibaratkan, gempa pertama hanya menimbulkan keretakan, maka gempa kedua ini memecah dan merontokan semuanya. Namun ajaibnya, meski daya rusak dan kekuatannya lebih besar dari gempa 6 Maret silam, dua kali gempa yang bersahutan ini tidak menimbulkan korban jiwa. Keculai General Manager PT Suka Fajar Ir Moyardi Kasim, yang tewas terhimpit reruntuhan kantornya.
Jurnalis adalah penulis sejarah, bahkan sebelum sejarah itu dilahirkan. Berikut ini catatan saya sebagai jurnalis, dan pernah dimuat secara utuh atau sebagian di harian Posmetro Padang. Catatan ini hanya bagian kecil dari dokumentasi soal bencana di Sumbar. Ada banyak goresan, catatan dan bahkan ingatan para korban yang belum terungakp. Kecuali yang dituliskan media. (nto)
Ranah Minang Menangis
Seri Pertama : Gempa 6 Maret 2007 (1)
Gempa dengan kekuatan 5,8 SR yang berpusat di Batusangkar Selasa (6/3), menimbulkan korban jiwa diberbagai kabupaten/kota di Sumatera Barat. Korban tewas terbanyak terjadi di kabupaten dan Kota Solok, yakni sebanyak 33 orang. Sampai pukul 18.00 wib, menurut data Satkorlak Penanggulan Bencana (PB) Sumatera Barat, 19 orang tewas di Kabupaten Solok dan 14 di Kota Solok.
Dilaporkan wartawan Posmetro dari Solok, korban tewas umumnya tertimpa dinding rumah dan atap bangunan. Seperti 7 orang tewas di Sumani Solok diakibatkan tertimpa bangunan SD 06 Sumani. Tiga orang lainnya tewas dihimpit dinding bangunan Bimbel Primagama Kota Solok. Jumlah korban tewas kemukinan terus bertambah, karena ada ratusan warga yang masih dirawat akibat luka berat dan ringan.
Selain korban tewas, gempa di pagi hari itu juga menimbulkan kerusakan bangunan dan fasilitas umum di berbagai kecamatan di Solok. Tercatat 4 kecamatan di kabupaten Solok mengalami kerusakan, yaitu Kecamatan Lembang Jaya, Kecamatan Gunung Talang, Kecamatan Kubung dan kecamatan X Koto. Selain itu dua kecamatan di Kota Solok, yaitu kecamatan Tanjung Harapan dan Kecamatan Lubuk Sikarak, juga mengalami hal yang sama.
Akibat gempa itu, sejak pukul 12.00 siang aktifitas warga di Kabupaten dan Kota Solok terhenti. Gempa juga memmbuat pemilik toko menutup tokonya lebih awal. Begitu hal dengan sekolah, pasca gempa siswa-siswa langsung di suruh pulang. Jalanan sejak pagi hari hingga sore, lengang. Warga memilih berada di rumah ,masing-masing. Meraka memasang tenda di halaman rumahnya guna mengantisipasi gempa susulan.
Gempa yang berpusat di sebelah Barat Daya Batusangkar itu, menyebabkan putusnya jaringan listrik dan saluran komunikasi. Bahkan dilaporkan, akibat kepanikan, terjadi beberapa kali kecelakaan. Tetapi tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.
Untuk memantau kondisi terkini, Pemkab Solok dan Kota Solok telah membangun Posko utama, di depan kantor camat Kubung untuk Kabupaten Solok dan di Lapangan Merdeka untuk Kota Solok.
Padang Panik
Gempa dengan kekuatan 5,8 skala ricter itu juga menimbulkan kepanikan warga. Berbagai ruas jalan di kota Padang dilanda kemacetan hebat. Hal ini terjadi karena banyaknya warga kota yang menyelamatkan diri, dari kemukinan terjadinya tsunami.
Di sepanjang jalan Sawahan misalnya, beberapa menit setelah gempa menghoyak. Ratusan kendaraan mulai dari roda empat sampai roda dua, merangkak menuju kawasan Limau Manis dan kawaan tinggi lainnya di kota Padang. Keadaan ini memacetkan ruas jalan tersebut, terutama dari pertigaan Jati sampai depan SPBU Sawahan.
Salah seorang mahasiswa Unand, Paljriati yang turut berlarian bersama masyarakat lainnya, mengatakan dirinya ikut lari, karena takut akan datang tsunami.
“Karena tetangga pada berlarian, saya pun ikut lari. Buat jaga-jaga aja,” ungkap Paljriati.
Ancaman akan datangnya tsunami, agaknya yang menyebabkan ribuan masyarakat Kota Padang berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Trauma Tsuanami Aceh, menjadi salah satu sebabnya. Silmi (25), alumni MIPA Unand, mengaku ketika gempa terjadi, dia sedang berada di salah satu studio photo di Kota Padang. Begitu gempa, dia langsung menuju Limau Manis.
“Bukan takut tsunami sih, tapi karena orang pada lari, ya saya ikut lari juga,”
Kemacetan juga terjadi di ruas Jalan Jati, terutama di depan rumah sakit M Jamil. Ratusan kendaraan tumpah ruah ke jalanan. Kondisi kondusif terjadi saat beberapa pemuda setempat dan Satpam RS M Djamil berinisiatif mengatur lalu lintas. Beberapa siswa sekolahan yang ikut berlarian menyelamatkan diri, tampak ada yang menangis ketakutan. Bahkan pingsan seperti yang terjadi di depan rumah sakit M Djamil Padang.
Keadaan serupa juga terjadi di beberapa ruas jalan protokol. Jalan Sudirman, Rasuna Said, Khatib Sulaiman serta jalan Pasar Alai-Ampang serta beberapa ruas jalan lainnya terlihat macet. Masyarakat yang panik, tampak berbondong menyelamatkan diri.
“Untung siang hari terjadinya, kalau tidak,” kata Muklis Tanjung (45) warga Ampang saat menyelamatkan diri bersama anggota keluarganya menuju Kampung Kelawi.
Kapoltabes Padang, Kombes Pol Drs Tri Agus Heru Prasetya, melalui Kasatlantas, Kompol Sareng Suprapto, di ruas Jalan Sudirman, sibuk turun langsung mengatur arus lalulintas. Dia mengatakan, kepolisian sudah menyiapkan 147 personil Satlantas Poltabes Padang untuk mengatur arus lalulintas.
Gempa bukan saja menyebabkan kemacetan, namun beberapa toko seusai gempa juga langsung ditutup pemiliknya. Salah seorang loper koran Mardi (34) warga Simpang Haru, menyatakan, akibat ditutupnya toko-toko di Pasar Raya Padang, dagangan korannya tidak laku. Biasanya dia bisa menghabiskan puluhan eksamplar setiap hari. Namun pada hari itu, korannya hanya terjual beberapa eksamplar saja.
Rumah Sakit Panik
Kepanikan juga terjadi di Rumah Sakit (RS) M DJamil dan RS BMC Restu Ibu Padang. Puluhan dokter, perawat, pasien beserta keluarganya saling berdesakan keluar dari rumah sakit tersebut.
Puluhan pasien yang sedang dirawat didua rumah sakit itu sengaja dipindahkan ke teras dan halaman rumah sakit. Keluarga pasien, dokter dan perawat saling bahu-membahu mendorong tempat tidur pasien ke lantai dasar, untuk menghindari runtuhnya gedung rumah sakit.
Salah seorang keluarga pasien RS BMC Restu Ibu Benhire (58), mengatakan, dia masih shock dengan kejadian itu. Pada saat gempa terjadi, dia berada di lantai 2 RS BMC Restu Ibu, menunggui suaminya yang dirawat disana. “Dengan dibantu anak saya, kami langsung mendorong bapak (suaminya) ke lantai bawah. Kami takut, gempa akan merubuhkan banguna ini. Sampai sekarang ini saya masih shock,” ungkap warga Tabing ini.
Pantauan POSMETRO di dua lokasi itu, kecemasan terlihat jelas di wajah pasien, keluarga, perawat serta para dokter. Sebagian masih terduduk lemas, memegangi dada. Sebagian lainnya mencoba menenangkan pasien yang tampak shok. Beberapa diantara mereka ada yang masih masih dinfus.
Di RS M Djamil misalnya, puluhan pasien sementara waktu ditempatkan di teras dan halaman rumah sakit. Pengevakuasian pasien bukan saja berlaku untuk pasien dewasa, bayi-bayi yang baru beberapa saat dilahirkan, juga tampak diantara pasien RS terbesar di Sumbar itu.
Kepanikan juga dialami kerabat yang membezuk. Akibat gempa, mereka berlarian keluar dari kawasan M Jamil. Akibatnya saling berdesakan di pintu gerbang RSUP M Djamil tidak bisa dielakan.
Untuk menenangkan suasana, manajemen RSUP M DJamil lewat pengeras suara, mengumumkan kalau gempa itu berkekuatan 5,8 SR dan berpusat di Batusangkar. Sehingga tidak menimbulkan bencana tsunami. Untuk menetralisir kepanikan, pihak rumah sakit menghimbau perawat, dokter, pasien beserta keluarganya untuk tetap tenang.